Dunia Tanpa Musik, Dansa, dan Ciuman.

Alif Muzadi
7 min readDec 3, 2023

--

Sebuah cerita pendek tentang perjalanan pulang.

sebuah bangku yang tidak memiliki nama

Seorang lelaki memandangi gelas setengah penuh.

Rambutnya pendek dan dicat berwarna ungu. Kedua tangannya terkepal diatas lutut. Matanya terlihat memandangi dengan khidmat, seakan-akan kiamat sekalipun tak akan membuatnya memejamkan mata.

Wajahnya tak memberikan emosi apapun, namun siapapun yang melihat pasti akan merasakan dingin yang menusuk.

Dia seperti sedang tertidur. Tak bergerak. Tak bersuara. Atau mungkin ia sedang berpikir dalam tidurnya dengan kedua mata terbuka.

Tak ada seorang pun yang tahu pasti dan tuhan sekalipun.

Lelaki tersebut bernama Muzad, seorang biasa yang mencoba mengisi hidupnya dengan menulis.

Muz pergi mengambil selembar kertas dan sebuah pulpen. Ia duduk di kursi kesukaannya dengan meja yang cukup panjang. Mengelus-elus kertas sebelum menulis. Baginya adalah sebuah ritual yang tak boleh dilewatkan. Sebuah bentuk kasih sayang untuk benda-benda mati.

Muz kembali terdiam. Ia kebingungan memutuskan apa yang perlu dibagikan. Sesuatu telah lama hilang dari dalam dirinya.

“Musik hanya untuk orang-orang hidup. Mereka yang mati menciptakan musik bukan mendengarkannya.” Kata Muz.

Muz mulai menulis dalam keheningan. Ia mendengar suara yang tidak asing. Suara yang ia kira sudah lama mati.

“Bermain gitar klasik saja dia tidak bisa.” Ucap Juna sambil duduk di kursi malas.

“Semua memerlukan waktu untuk belajar.” Ucap Deliah yang sedang menuangkan segelas minuman.

“6 bulan dan dia belum bisa memainkan musik apapun.” Juna kesal.

“Hal baik tidak lahir dalam satu malam.”

“ini namanya tidak punya bakat.”

“Tidak semua orang jenius seperti mu.”

“Kau saja yang ajari dia besok sendiri.”

“Kenapa kau limpahkan semua tanggung jawabnya padaku?”

“Karena kau yang memberikan ide pertama untuk mengadopsi anak.” Kata Juna dengan nada tegas.

“Aku tidak mengerti cara bermain musik.” Gumam Deliah.

Juna beranjak pergi dan berkata, “kalau begitu kembalikan saja ke panti asuhan.”

Suara tersebut merupakan percakapan kedua orang tua Muz yang tak sengaja ia dengar saat berumur 6 tahun. Saat ia tak bisa tidur dan ketakutan mendengar suara hujan.

Bagi Muz, percakapan kedua orang tuanya adalah piringan hitam yang tidak pernah berhenti berputar. Menemukan tempat sendiri dalam kepalanya. Asing dan tidak ia mengerti. Seiring menuanya waktu, ia mulai memahami mengapa musik diciptakan.

Suara kedua orang tuanya menghilang. Selesai bersama dengan tulisannya.

Muz mengambil kertas kedua dan mulai menulis lagi.

Tangannya bergerak dengan leluasa melewati satu barisan ke barisan lain. Berdansa dengan pulpen yang tidak pernah mengkhianatinya. Walau terkadang alat-alat tulis meninggalkan manusia tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal.

Dari balik rak buku muncul sebuah kepala menjulur melewati sela-sela. Kepala tersebut adalah milik Taurus. Teman Muz di perkuliahan.

“Kenapa kau selalu saja memasang muka serius” Ucap Taurus dengan wajah heran.

“Kau sangat kaku, aku bosan mendengar ocehan mu tentang langit dan bintang.” Ucap Taurus kembali.

“Apakah orang tuamu tidak pernah mengajarkan caranya bercanda?”

“Orang tuaku tidak pernah mengajarkan apa-apa.” Balas Muz.

“Cobalah lebih banyak tersenyum.” Ucap Taurus, lalu kepalanya berubah menjadi cipratan kopi yang menempel di dinding.

Muz mengambil sedikit nafas panjang. Matanya terlihat berat. Wajahnya seperti sehabis dihantam batu besar.

Ia kembali menulis. Tangannya sampai pada barisan terakhir.

Tiba-tiba sebuah bayangan keluar dari bawah meja. Ia adalah Calvin. Teman masa kecil Muz.

“Sudah berapa lama kita tidak bertemu?” Ucap calvin.

“10 tahun.” Bisik Muz.

“Seperti baru kemarin.” Kata Calvin, sambil menyeruput kopi mentega.

“Kau berpakaian aneh lagi.”

Muz mengenakan celana corduroy yang mulai nge tren di tahun 70-an, dengan kaus putih bergambar toko kelontong kecil, dan vest kapas berwarna merah jambu.

“Kau sangat ketinggalan jaman.” Kata Calvin lagi.

“Zaman lah yang telah meninggalkan kita.” Balas Muz.

“Mengapa kau selalu ingin tampil berbeda?”

Muz tidak menjawab.

“Perhatian siapa yang kau cari-cari sebenarnya?”

“Aku hanya senang berpakaian seperti ini.” Ucap Muz.

“Aku tidak pernah mengerti apa yang kau pikirkan.” Ucap Calvin, lalu ia berubah menjadi lembaran kertas berantakan yang menghamburi lantai.

Muz menari-nari dalam tulisannya. Melompat-lompat. Dan berhenti saat menemukan titik.

“Akhirnya aku sendirian lagi.” Ucap Muz dengan suara pelan.

Muz mengambil kertas ketiga dan menyalakan sebatang rokok.

Para perokok biasanya menghisap rokok ketika menghadapi hal-hal berat. Juga waktu terakhir mereka.

Muz memandangi plafon berlubang. Tempat dimana air hujan masuk tanpa izin dan membasahi barang-barangnya.

Ia lanjut memandangi belahan lain ruangannya. buku-buku lembab. Debu-debu tipis berterbangan. pinggiran roti di tempat sampah.

Mata Muz semakin berat. Ia kesulitan bernafas seperti sedang tenggelam di laut lepas. Ruangan tempatnya menulis tiba-tiba mengecil sedikit demi sedikit.

Setiap sepuluh detik, dinding tempatnya menulis mengecil sebanyak satu meter. mengecil hingga hanya sedikit ruang untuk bergerak. Tubuh Muz meronta-ronta. Semakin ia melawan. Semakin ia tak mampu bergerak.

Kini ia terhimpit oleh dindingnya sendiri. Kepalanya seperti ingin pecah. Muz menggenggam pulpen selama yang ia bisa. Dalam hidupnya tidak ada toleransi untuk sebuah pengkhianatan.

Muz mencium aroma buah dari langit-langit. Seorang wanita turun dari plafon berlubang miliknya. Rambutnya bergelombang seperti singa. Matanya seperti pohon Ek tua yang sudah hidup lama. Muz tidak bisa mengenali wajahnya. Tubuhnya semakin terhimpit. Ia mulai kehilangan kesadarannya.

Tangan wanita tersebut memegang kedua pipi Muz. Wajahnya menempel dengan wajah Muz. Ada kehangatan yang menyelimuti mereka berdua.

Wanita tersebut berbisik kepada Muz, “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”

Ruangan yang mengecil itu perlahan kembali pada ukurannya semula. Masih dengan suasana yang sama. Kegelapan yang ia ciptakan menghilang seakan-akan tidak pernah ada disana.

Muz mulai mengenali wajah perempuan tersebut, “Plum?”. Plum adalah seorang perempuan yang selalu mengingatkan Muz dengan rumah. Rumah yang sebenarnya.

“Muzad?” Ucap Plum.

“Aku senang”. Muz sedikit malu-malu. “Senang melihatmu lagi.”

“Aku tahu.” Balas Plum.

“Kau tampak lebih cantik dari biasanya.”

“Lebih cantik dari terakhir?”

“Melebihi bintang-bintang di mata mu.”

Plum mengambil sebatang rokok yang masih menyala dari asbak. Ia berlari ke belakang Muz. Saat Muz berbalik, ruangannya luruh menjadi lorong panjang dan gelap.

Ia menyusuri lorong tersebut.

Muz berakhir didepan sebuah pintu lemari, ia membuka sedikit untuk mengintip kedalamnya.

Muz melihat Plum sedang berbincang dengan seseorang. Mereka duduk di ruang makan. Terlihat seperti obrolan yang serius.

“Mengapa kau tidak pernah mendengarkan ku?” Kata Paulo

“Aku mendengarkan mu, hanya saja aku tidak ingin melakukannya.” Ucap Plum seraya memegang gelas setengah penuh.

“Aku hanya ingin kau bahagia.”

“Aku bahagia dengannya.” Plum memandang mata Paulo. “Mengapa ayah tidak mau memberinya kesempatan.”

“Kau akan mengerti setelah menikah dan memiliki seorang anak perempuan.”

“Dia sangat mirip dengan ayah sebelum bertemu dengan ibu.”

“Waktu membuat ayah berubah dan dia terlihat seperti tidak terikat waktu.” Paulo memegang pundak Plum. “Apakah kau mencintai ayah?”

Muz menutup pintu lemari

Ia mengusap wajah dengan kedua tangannya lalu menemukan kanvas putih besar menggantung di dinding lorong.

“Kenapa kau tidak pernah bercerita yang sesungguhnya?” Tanya Muz.

“Aku tidak menemukan cara yang mudah untuk menyampaikannya.” Jawab Plum dari belakang Muz.

“Kau takut dengan apa yang akan aku lakukan.”

“Aku tidak ingin kau membuang kepercayaanmu.”

“Tuhan pasti mengerti, ia adalah mahluk yang romantis.”

“Tidak lagi romantis jika kau melakukan itu.”

Muz mendekati canvas besar dan menyandar lemas. Plum menghampiri dan memeluknya dari belakang.

“Apa kau berjemur pagi tadi?” Tanya Plum.

“Sedikit panas dari biasanya.” Jawab Muz. “Tapi langit masih saja biru seperti yang lalu-lalu.”

“habiskan pinggiran rotimu.”

“Aku selalu menghabiskannya.”

“Nafasmu selalu satu kali lebih cepat saat berbohong.”

“Hei, itu bawaan lahir, kenapa kau selalu mengerjaiku.” Muka Muz sedikit cemberut

“Kau memang tidak pernah terikat oleh waktu.” Plum tersenyum. “Tapi hari raya pun memiliki sebuah akhir.” Tangannya mengelus pipi Muz.

Mereka saling menatap dalam keheningan. Tanpa musik. Tanpa dansa. Hanya dua pasang mata yang saling bertemu.

Wajah mereka saling mendekat. Plum memeluk dengan erat. Muz menutup matanya. Mereka berciuman dalam waktu yang tertidur.

Sebuah bigbang meledak dalam kanvas putih besar.

Muz membuka mata dan hanya ada dia seorang disana.

Lorong panjang dan gelap kembali menjadi ruangan tempat Muz menulis.

Kehangatan yang menyelimutinya berubah menjadi marah. Bukan untuk orang tuanya. Bukan untuk teman-temannya. Juga bukan untuk Plum.

Ia marah pada dirinya sendiri atas semua yang telah hilang dalam hidupnya.

Muz terungkur ke kursi kesukaannya. Dengan pulpen yang masih ia genggam. Dengan tulisan yang sudah memenuhi kertas ketiga.

Muz mengambil kertas keempat

Ia menghisap rokok terakhirnya. Terlihat dari jendela, dunia telah sampai di sore hari.

Muz mencoba mengumpulkan tenanga terakhirnya untuk menulis lembar terakhir. Ia bisa saja istirahat sejenak dengan meminum teh chamomile miliknya atau pergi tidur dan melanjutkan esok hari.

Tapi Muz tidak mau berhenti. Ia merasa tulisan ini harus selesai sekarang juga. Seperti sebuah pertaruhan antara dirinya dan tulisan miliknya. Siapa yang akan selesai lebih dulu.

Muz mematikan rokok yang telah ia hisap habis.

Matanya kini tidak berat lagi. Badannya kembali bugar. Muz tertawa kecil.

“Akulah pemenangnya.” Ucap Muz, seraya menyayat nadi dengan pulpen yang ia genggam.

Tinta membanjiri keluar dari luka yang dibuatnya.

Tinta berwarna hitam pekat yang biasa digunakan oleh kapten-kapten bajak laut.

Muz membasahi kertas terakhir dengan tinta yang keluar dari tubuhnya.

Kertas yang semula berwarna putih itu berubah menjadi warna hitam pekat.

Muz terjatuh ke lantai dan terbaring lemas.

Muz memandangi matahari berbentuk kotak dari jendela tempatnya menulis.

Tinta semakin menggenangi kertas-kertas berantakan dan lantai tempatnya terbaring. Tubuhnya mulai meleleh secara perlahan dan menyatu dengan tinta hitam. Waktu berjalan lambat untuknya.

Ia bertanya-tanya mengapa matahari berbentuk kotak.

“mengapa tuhan membentuk matahari dengan bentuk tidak sempurna?”

“Apakah matahari membenci sisi-sisi tajam yang tidak cantik itu?”

“Apakah ia tertidur dengan tenang di malam hari?”

“Apakah ia membenci hari senin?”

“Semua tidak penting lagi.” Ucap Muz seraya menutup mata.

Muz meneteskan air mata untuk terakhir kalinya. Air mata yang sudah bertahun-tahun tidak membasahi pipinya.

Tidak ada lagi kesedihan dalam tangisannya. Penyesalan dalam matanya lambat laun menghilang bersama cahaya. Amarah yang menyelimutinya berubah menjadi awan putih. Cinta dalam dirinya kembali menjadi sempurna dan sederhana.

Muz kembali menemukan ketenangan.

Muz meninggalkan banyak pertanyaan. Ia tidak lagi terbebani apapun. Tidak ada lagi pertanyaan yang harus ia jawab.

Kelak pertanyaan tersebut akan menjadi tanggung jawab seorang yang lain.

“Semoga ia tidak kehilangan dirinya.” Ucap Muz terakhir kali.

Muz mendapatkan kembali dirinya sepenuhnya.

Tubuh Muzad menghilang. Bersatu dengan tinta hitam sepenuhnya.

Kertas-kertas tulisannya diatas meja telah terlipat rapih membentuk sebuah surat.

Kali ini giliran Muzad untuk pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal kepada pulpennya.

Tak ada apapun yang mengiringi kematian Muzad selain dirinya sendiri. Musik, dansa, dan ciuman telah pergi bersama matahari kotak yang terbenam secara perlahan.

Dunia tidak lagi menjadi sebuah orkestra yang megah.

Muzad terbangun di padang rumput.

Ia melihat rumah mungil dengan atap berwarna pastel dan asap keluar dari sebuah cerobong. Ia menelusuri jalan setapak yang sederhana dan memasuki halaman rumah melewati gerbang kecil.

Ia sudah menyiapkan banyak alasan untuk orang yang akan ia temui sebentar lagi.

Ia merasa bodoh. Tidak ada alasan apapun yang diperlukan.

Muzad membunyikan lonceng yang menggantung didepan pintu. Tidak lama pintu terbuka. Sebuah suara menyambut hangat kedatangannya.

Muzad akhirnya tidak perlu berlari lagi.

-Bandung, Melancholichouse. Penghujung tahun 2023.

--

--

Alif Muzadi
Alif Muzadi

Written by Alif Muzadi

Tumbuh di keluarga yang tidak sempurna mendorongnya melihat banyak hal dan berpetualang dalam perasaan-perasaan asing. Semoga tulisan ini dapat memberikan arti.

Responses (1)