Februari dan Petualangan Didalamnya
Pergi melancong sendirian, membuatku mengerti akan makna kesepian yang digaungkan dalam sajak-sajak para penyair, dan betapa rusaknya peradaban manusia
Pelancongan ke kota Yogyakarta adalah perjalanan yang cukup menyenangkan, namun jauh dari yang kuharapkan. Terbiasa berjelajah kesana kemari dan pengaruh dari film-film petualangan, meninggalkan rumah ke tempat yang jauh menjadi sebuah mimpi yang indah untuk kulihat.
Selama 8 hari disana, 6 hari kuhabiskan sendiri, dan 2 hari sisanya dihabiskan bersama teman yang menyusul, mendapat pinjaman kost teman untuk menginap, berjelajah kesana kemari, dan semua ingatan yang menyenangkan.
Namun bukan itu yang ingin kuceritakan,
Kota Yogyakarta, meninggalkanku tamparan yang cukup keras, untuk tahun yang baru dimulai ini.
Bagian ini sengaja kutulis sebagai bentuk terimakasih kepada Pak Kento dan istrinya atas semua kebaikan yang mereka berikan.
Hari pertama menginjakan kaki di kota itu, kuhabiskan waktu dengan berjalan sejauh 15KM dari lempuyangan menuju kaliurang, kota itu menjadi tempat yang sangat asing untuk seseorang yang baru pertama kali mendatanginya, dan karena itu pun aku harus menempuh 9km tambahan, menuliskan tempat tujuan dikardus dan berharap ada yang memberi tumpangan, kendaraan terus berlalu lalang namun tak ada satupun yang memberikan bantuan.
Disela peristirahatan, ada seorang pria paruh baya yang mendatangi, bertanya satu dan lain hal setelah melihat apa yang kulakukan, lalu pergi setelah puas mendapatkan jawaban yang diinginkan, waktu menunjukan pukul 3 sore dan perjalanan harus dilanjutkan, secara tiba-tiba pria paruh baya tadi mendatangi sekali lagi dan menawarkan sebuah tumpangan ke tempat yang kutuju, tanpa basa-basi aku pun menaiki kendaraan nya, berbincang tentang perkuliah dan juga informasi mengenai kendaraan umum yang bisa kugunakan selama di yogya. Nama pria tersebut adalah Pak Kento, seseorang yang membuatku tak perlu menempuh 9km tambahan dan yang membuatku kembali percaya pada kemanusiaan juga hal baik lainnya.
Menjadi seorang petualang yang sendirian, ternyata tetap membutuhkan pertolongan orang lain juga, aku sadar betapa congkak nya diriku dihadapan sebuah petualangan, aku belajar bahwa hal yang kita bisa bukan berarti kita harus, terkadang rasionalitas memang diperlukan dalam perjalanan yang tidak dapat ditebak.
Banyak waktu yang kuhabiskan sendirian, kebebasan yang kudambakan perlahan berubah menjadi sebuah jeruji. Dihadapan petualangan yang tidak mengenal batasan, akulah yang menahan diriku sendiri tanpa kusadari.
Kulihat motor dan manusia berlalu lalang, memaku pikiranku pada sebuah pertanyaan “kemanakah aku harus melabuhkan tubuhku ini selanjutnya?”.
Kepalaku berlabuh pada banyak nya syair-syair puisi yang membicarakan kesepian, kini aku mengerti betapa menyiksanya perasaan itu, diriku telah cukup dimabukan oleh adegan-adegan petualangan dalam film Into The Wild dan The Secret Life of Walter Mitty.
Aku tenggelam pada banyak pertanyaan besar dalam kebebasan yang kudambakan.
Langit yang kuperhatikan sedari tadi mulai menjelma menjadi sebuah wajah seorang penyair dan menertawakanku dari atas sana. Perjalanan ini akan menjadi sesuatu yang sia-sia bila aku terus menghabiskan waktu hanya untuk mengeluh dan menyesal. Perjalanan ini harus kuselesaikan, sendirian ataupun tidak, ini harus kuselesaikan.
Perjalanan ini telah menyadarkanku akan betapa rusak nya peradaban manusia yang kita jalani, dengan ada atau tidaknya pelanggaran HAM diluar sana, kita adalah mahluk beracun yang saling melukai satu sama lain.
Begitupun diriku,
Peradaban telah merusakku sedemikian rupa,
Aku terus mengkhawatirkan jumlah jarak yang harus kutempuh, dan mempertanyakan kesanggupanku dalam menghadapinya,
Aku hampir menyerah pada kesendirian dan kesepian yang menyertainya, bukankah dalam petualangan, kita akan selalu memiliki diri kita sendiri?
Peradaban telah merenggut kebebasanku, bahkan sebelum petualangan ini dimulai.
Perjalanan ini, menyisakan sebuah ketidakpuasan besar dan kebingungan mengapa itu terjadi.
Banyaknya uang yang telah berhasil kukumpulkan untuk kemaslahatan selama berpetualang disana, nyatanya adalah faktor terbesar dari ketidakpuasaan tersebut,
Tanpa uang, mungkin aku telah berjalan menempuh puluhan kilometer dan menumpang pada kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang, menuju gunung kidul, menyapa deburan ombaknya, hempasan anginnya, menyerahkan diri pada keberanian yang menyerukan kebebasan.
Aku menjadi terlalu berhati-hati dalam setiap tindakan yang kuambil, berhati-hati dalam menggunakan uang yang kukumpulkan, dan tanpa sadar telah mengundang ketakutan yang lebih besar dari yang kubawa,
Aku menciptakan sebuah jeruji untuk mengekang diriku sendiri dihadapan kebebasan yang sedang mesra-mesranya memeluk cakrawala.
Bagiku, petualangan ini adalah sebuah perjalanan untuk menyucikan diri, kembali pada dekapan kebebasan berpikir, membersikan racun-racun peradaban dan hal-hal tidak murni nya yang mulai bermuara didalam tubuh tanpa membayar pajak sedikitpun.
Satu langkah lebih dekat untuk menjadi supertramp dalam mencari alaska ku sendiri.