Hiruk Pikuk Hidup Perkotaan dan Segala Ketar-Ketir nya.
BAGIAN 1 : Polemik pandemi yang rumit dan pertanyaan pertanyaan yang tak kunjung usai.
Dua tahun kurang hidup berdampingan dengan Covid-19, nyatanya membuat pertanyaan demi pertanyaan beranak pinak didalam kepalaku. Jujur saja aku percaya betul dengan adanya virus ini, namun aku tak menaruh sedikitpun rasa takut sejak awal kehadiran nya. Satu alasan yang terus membuatku menerapkan protokol kesehatan dengan ketat adalah rasa takut akan malapetaka yang mungkin bisa menimpa ibu karena satu dua kebodohan anak sulung nya ini. Kalau sampai ibu sakit, bahaya sudah, akan terjadi kiamat, hanya saja kiamat ini cuma diproyeksikan untuk satu orang saja. Siapa coba yang bisa sanggup menanggung nasib seperti itu? manusia pada dasar nya memang ditakdirkan dengan nasib yang bebal, tapi kalo nasib nya seperti itu, sudah bukan main rasanya. Pada akhirnya rasa sayang pada ibu, kerap kali menyelamatkan kita dari hal-hal bodoh.
Pandemi ini kerap kali membuat kepalaku pusing tujuh keliling, bila dilihat satu tahun lebih kebelakang banyak sekali polemik yang harus kita lewati, dimulai dari virus yang tidak kita mengerti dan merubah banyak sekali kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar, panggung drama konspirasi yang menjamur disana-sini, polemik vaksin dan upaya-upaya vaksinasi, belum lagi dengan pembatasan-pembatasan yang dirasa tidak pernah usai.
Tiap malam, Ada seorang tukang parkir paruh baya dengan sigap melawan dingin nya malam dan tanpa henti menarik motor-motor keluar tanpa menggunakan masker, karena dalam hidupnya, membeli masker berarti tidak makan, ada seorang pelacur yang harus mau berhubungan badan karena dalam hidupnya jaga jarak hanya bikin dirinya tidak bisa beli susu anak, ada gelandangan yang kepalanya dipenuhi dengan rencana-rencana agar bisa tidur dan terbangun di esok hari dengan selamat, pandemi paham betul tidak akan pernah punya tempat untuk berdiam didalam kepalanya itu, ada orang tua yang mempertaruhkan nyawanya di kantor dan dijalanan, semata-mata agar anak nya bisa makan atau meneruskan pendidikan. Ada tanggungan-tanggungan yang perlu dibayar, ada banyak nyawa yang terpaksa melayang, ada yang hak nya habis dirampas, semesta senag sekali bercanda dan kita dipaksa menikmatinya.
Hari berganti minggu lalu berganti tahun dan pandemi belum juga selesai, badai yang asalanya pekat dan menyeramkan kini lama-lama menghilang, namun pandemi belum juga usai dan kita telah lupa dengan petaka-petaka yang mengikutinya, ada yang masih takut untuk menginjakan kaki keluar rumah, ada juga yang kesana-sini dan dengan sengaja meninggalkan masker karena baginya pandemi sudah usai bagaimanapun caranya. Jalan kini kembali ramai dan padat oleh kendaraan, tempat wisata kembali dibanjiri pengunjung, bioskop kembali menjadi pilihan untuk berakhir pekan dengan film kesayangan.
Namun apakah pandemi ini benar-benar belum selesai?