Jalan Pedang Seorang Penulis

Alif Muzadi
3 min readApr 7, 2023

--

Dalam kesendirian, aku menemukan diriku.

Dalam kehidupan tidak pernah ada satupun hal yang gratis, atas apapun yang kita kehendaki ataupun sebaliknya. Pembayaran ini tidak melulu bersangkutan dengan hal-hal materialis, setiap satu keberuntungan yang kita dapatkan harus dibayar dengan satu kesialan dikemudian hari, surga sekalipun perlu kita bayar dengan amalan baik yang tidak kita ketahui nominal jumlahnya, begitupun dengan bakat. Kita tidak pernah mengetahui apa harus dibayar dengan apa, dan seringkali apa-apa yang perlu kita korbankan mendekatkan kita dengan garis kematian.

in solitude, I found myself.

Sedari kecil, aku tidak pernah memiliki ketertarikan dengan dunia sastra, apalagi dunia penulisan. Menginjak sekolah menengah pertama, pelajaran bahasa indonesia menjadi mata pelajaran yang paling kubenci karena bagiku apa-apa yang ditawarkan dari pelajaran tersebut hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan, bukankah berbicara menggunakan bahasa indonesia dengan fasih sudah lebih dari cukup?

Menginjak sekolah menengah atas, takdir mengantarkanku pada jalan yang tidak tidak pernah aku duga, hatiku telah dirampas oleh puisi dan tidak terlihat ada satupun itikad untuk mengembalikannya. Selama tujuh tahun aku telah menjadi budak yang dipaksa mengabdi pada puisi, dipaksa berpetualang dalam dunia penulisan, dalam perjalanan tersebut aku menjadi dekat dengan apa yang mereka sebut seni dan jatuh cinta kepadanya. Selama tujuh tahun aku telah menjadi budak yang bahagia menjalani semuanya, terlepas dari dari duka dan suka yang kulalui, nampaknya kebahagiaan itu abadi dalam diriku.

Semua tampak membahagiakan, hingga tuhan meminta bayarannya.

Menjadi seorang penulis berarti kita harus hidup tanpa terikat dengan apapun. Pada awalnya hidup tanpa keterikatan adalah sebuah kebebasan yang sangat menyenangkan, bagaimana tidak? kita bebas datang dan pergi dari perkumpulan apapun tanpa dianggap meniggalkan ikatan komunal manapun, tidak ada lagi yang dapat menyakiti diriku, aku mengendalikan semuanya, semuanya yang bersangkutan dengan kebahagiaanku, semua yang bersangkutan dengan kepedihanku. Pergi berkarya kemanapun dan kapanpun tanpa perlu takut untuk disakiti.

Menjadi seorang penulis, berarti tidak boleh menjadi seseorang yang bernyawa. Karena denga matilah kita dapat merasakan semua penderitaan didunia ini, dapat melihat semua hal yang tertinggal, dapat mendengar semua yang pernah kita tolak keberadaannya. Dengan matilah kita dapat melebur dengan semuanya. Kepedihan-kepedihan tersebut akan membuat seorang penulis tumbuh, membuat semua karya-karyanya bernyawa, membuat setiap kata yang dituliskannya seperti sebuah belati yang melayang dan siap membunuh siapapun yang berani membenamkan diri pada tulisan tersebut.

Mereka yang memiliki kesadaran berpikir sudah pasti hidup dan tumbuh dari sakit.

Menjadi seorang penulis, berarti tidak boleh menjadi bagian dari masyarakat. Ketika seorang penulis tidak lagi sendirian, maka semua waktu yang ia miliki akan dicurahkan untuk berkumpul hingga tengah malam, untuk berbincang hal-hal yang tidak jelas, untuk mengejar cinta yang sia-sia, hingga tidak lagi memiliki waktu untuk menulis. Ketika seorang penulis menjadi bagian dari masyarakat maka ia tidak lagi mati.

Petualangannya dalam memegang pena sama saja dengan selesai.

Setelah menempu jalan panjang yang sepi ini, aku akhirnya menemukan rumah. Rumah dimana aku tidak perlu berpikir lagi, rumah dimana aku tidak sendiri lagi, rumah dimana aku kembali menemukan arti. Ketika seorang penulis menjadi terlalu terikat berarti siapa saja dapat menyakiti dirinya, siapa saja dapat menusukan belati dan meninggalkan luka paling dalam.

Semakin mengenal banyak orang, semakin dekat juga dengan kesepian.

Semakin dekat dengan banyak orang, semakin sering juga menarik diri dari banyak hal

Semakin menghabiskan semuanya sendirian, semakin terbakar habis juga oleh luka-luka yang tak bisa kukendalikan.

Kesepeian ini menjadi terlalu besar untuk kutanggung sendirian.

Aku menjadi sesuatu yang tidak kukenali lagi, aku tidak lagi menemukan keberanian dalam melakukan segalanya sendirian, menjadi terlalu takut untuk terluka sendirian, tidak lagi menemukan kebahagiaan dari tulisan dan puisi yang kuciptakan.

Jika bukan untuk menulis dan berpuisi, maka untuk apa lagi melanjutkan hidup ini?

Bila sedari awal aku telah mengetahui bahwa semua inilah yang perlu dibayarkan untuk menulis dan berpuisi, apakah aku akan tetap melakukan hal serupa? atau melepaskan segalanya? jika aku tidak pernah jatuh cinta pada dunia ini, maka kehidupan seperti apa yang akan kutemukan sebagai gantinya? apakah aku akan menemukan cinta yang kudambakan? apakah aku akhirnya menemukan ketenangan?

Tuhan meninggalkanku bersama dengan pertanyaan yang tak kunjung usai dan aku dipaksa menikmati kehidupan sialan ini.

Tulisan ini mungkin menjadi tulisan paling berantakan baik dari alur ataupun tata cara penulisan. Tolong untuk sekali saja biarkan aku menulis untuk diriku sendiri, dan untuk sekali saja jangan hakimi aku dengan apa-apa.

--

--

Alif Muzadi
Alif Muzadi

Written by Alif Muzadi

Tumbuh di keluarga yang tidak sempurna mendorongnya melihat banyak hal dan berpetualang dalam perasaan-perasaan asing. Semoga tulisan ini dapat memberikan arti.

No responses yet