Menggantung Harapan Pada Atap Genting yang Berantakan
Cinta adalah tentang kepergian. Itu saja.
Kehidupan pertama di bumi diperkirakan dimulai 3,5 atau 2 miliar tahun yang lalu dan manusia sudah hidup sejak puluhan juta tahun. Sudah berapa banyak air mata yang bercucuran? Sudah berapa banyak kehidupan yang berakhir atas nama cinta? Sudah berapa banyak? Tidak perlu jauh-jauh melihat kelaparan di Afrika, atau peperangan di timur tengah, dan gelandangan-gelandangan yang hidup di belantara kota untuk mengetahui bahwa dunia ini berantakan. Perihal cinta saja sudah membuktikan bahwa dunia ini dibangun oleh tuhan dari konsep-konsep yang cacat.
Mereka yang menyatakan cinta berakhir dengan bahagia adalah pendusta paling besar. Tidak pernah ada satupun cinta yang berakhir bahagia. Tidak pernah satupun itu. Adam dan hawa sekalipun harus mengakhiri cinta mereka dengan tragis karena harus ada salah satu yang meninggalkan hanya karena mereka sudah hidup terlalu lama. Begitu pun cinta ibu. Mau ras manusia apapun, cinta ibu selalu berakhir dengan air mata. Pada akhirnya pilihan yang kita miliki adalah kapan cinta ini mau diakhiri dan siapa yang harus meninggalkan lebih dulu.
Cinta adalah tentang kepergian. Itu saja.
Cinta adalah pandemi yang sebenarnya. Penyakit yang harus dihentikan. Narkoba yang harus dimusnahkan. Kebinatangan yang harus diselesaikan. Semata-mata hal ini terjadi karena tuhan ingin dicintai oleh manusia dan manusia berhasil menemukan celah dalam konsep cacat tersebut untuk mencintai manusia yang lain hingga akhirnya semua penderitaan ini terlahir.
Cinta tetap akan berakhir tragis meskipun peperangan tidak merenggut mereka yang terkasih.
Belum lagi manusia-manusia romantis yang membanggakan diri mereka sendiri. Mereka mengejar cinta yang menjauh dari genggaman tangan mereka atau pun cinta yang tidak pernah ada di genggaman tangan mereka meskipun telah memilikinya. Mereka adalah manusia yang sangat menderita. Orang-orang romantis mengurangi kenyamanan mereka sendiri pada titik terendah untuk suatu ketidakpastian yang melebihi tuhan. Ketulusan yang mereka miliki bahkan tidak mampu menghentikan ketragisan cinta dan malah membuat hidup mereka lebih tragis dari cinta itu sendiri.
Menjadi manusia romantis hanya perlu tidak mengetahui kapan waktunya menyerah.
Setiap negara perlu membuka mata atas krisis ini. PBB harus menyediakan ruang untuk pertemuan khusus semua negara yang ada. Bila perlu Undang-undang diciptakan. Sudah waktunya semua pemerintah dunia berdialog dan mengakui bahwa manusia adalah mahluk yang senang disakiti. Cinta adalah hal paling tragis yang akan selalu kita kejar dengan sukarela hingga mati datang menjemput.
Mau berapa banyak lagi yang dikorbankan untuk romantisasi bengis ini?