Selepas Ibu Tiada.

Alif Muzadi
4 min readSep 1, 2022

--

Seringkali rasa kehilangan mengantarkan kita pada penyesalan-penyesalan yang tertinggal.

Disela foto keluarga terakhir (2021).

Ciwidey, Leuweung Tengah, 5 Juli 2022.

Angin dari barat, Matahari pagi dari timur, hingga pegunungan yang membentang luas telah mengantarkan kabar duka bahwa ibu memasuki masa kritis dan sedang dirawat di ICU. Memecah rasa kantuk akibat tidak tidur semalam penuh, dan membunuh rasa lapar dengan sekejap. Aku berlari menuju tempat motor terparkir dan menancap gas penuh menuju Bandung, dengan satu harapan; bahwa aku masih memiliki waktu untuk melihat ibu dalam keadaan hidup.

Kelak dia akan tersadar bahwa dunia tidak pernah diciptakan untuk berkompromi dengan keinginan manusia, entah untuk kondisi mendesak atau tidak, dunia adalah tempat yang kejam dan akan selalu.

Bandung, Rumah Sakit, 5 Juli 2022.

Aku sampai dipintu depan rumah sakit dengan keadaan yang berantakan, dengan Head Lamp masih tergantung di leher, celana yang kotor oleh tanah kering, dan sepatu yang tergantung di bagian atas tas dengan kondisi penuh dengan lumpur. Aku bertanya kepada satpam dimana letak ruangan ICU, dari satu bagian rumah sakit ke bagian rumah sakit yang lain, aku berlari sekencang yang aku bisa seperti sedang diburu oleh waktu dengan anak panah tajam yang mengikuti.

Hingga akhirnya aku bertemu dengan ayah, paman, dan bibi, di depan pintu lift. Pelukan pertama dilemparkan oleh bibi kepadaku, lalu dilanjutkan oleh paman, dan Ayah, mereka semua memeluk dalam isak tangis, dan mengucapkan kata-kata yang tak ingin kudengar,

Mereka semua mengucapkan kata-kata yang tak ingin kudengar.

Ibu telah pergi,

Tapi kali ini ia tak akan pernah kembali,

Untuk selamanya.

Aku terduduk lemas dikursi lorong rumah sakit, menolak untuk percaya atas semua yang telah aku dengar, atas semua yang telah aku lihat, dan atas semua yang telah terjadi. Ingin sekali aku mengutuk tuhan dan membunuhnya dengan semua tenaga yang aku punya, namun untuk bernafas saja sudah sesak sekali rasanya. Semisal tuhan akan meruntuhkan langit di pagi itu, atau memporak-poranda kan dunia, aku tidak peduli. Aku hanya ingin melihat Ibu.

Entah kepergian ibu akan memberikan ‘ku trauma besar pada rumah sakit,

Entah kepergian ibu akan membuat permusuhan ‘ku dengan tuhan semakin panjang,

Entah aku akan bertemu dengan jiwa Ibu sekali lagi,

Tidak ada seorangpun yang memiliki jawaban pasti, Karena dunia terlahir dari ketidakpastian yang menjadi satu.

Bandung, Rumah Duka, 5 Juli 2022.

Tamu-tamu telah berdatangan dan berhamburan di halaman depan rumah, tempat untuk memandikan jenazah telah disiapkan lengkap dengan kain pembatas sebagai penutup, dan kulihat jelas dengan kedua mataku, Ibu terbaring tak bernyawa di ruang tengah. Pecah isak tangis pertama. Aku berjalan sempoyongan menuju tempat Ibu terbaring. Menangis, menangis, dan terus menangis. Untuk pertama kalinya aku mengangis begitu lepas didepan banyak orang. Aku hanya peduli Ibu. Hanya Ibu saja seorang.

Sebelum meninggalkan rumah, untuk pertama kalinya aku mencium kening ibu, hangat sekali rasanya. Hari ini, aku kembali pulang ke rumah, mencium kening ibu untuk sekali lagi, namun dalam keadaan dingin.

Tak berani sedikitpun aku menyentuh tubuh Ibu, menurut aturan dalam agama islam, kita tidak boleh meneteskan air mata saat sedang memandikan yang sudah meninggal. Aku hanya berdiri disudut, menangis sendirian, melihat Ibu dimandikan dengan semua luka yang tak pernah ia perlihatkan.

Lembang, Pemakaman, 5 Juli 2022.

Aku duduk dikursi belakang ambulan, memegangi keranda dimana ada ibu didalamnya. Sirene ambulan memenuhi segala tempat yang dilewati, semua kendaraan memberikan jalan seperti sebuah penghormatan terakhir, melalui kaca belakang aku melihat banyak mobil-mobil keluarga, teman, dan semua yang hidup nya pernah terhubung dengan Ibu, mengiringi menuju pemakaman. Ibu adalah orang yang baik, dan mereka semua adalah orang-orang yang peduli.

Jangan khawatir ibu, aku sudah disini, dan aku akan menjagamu selalu.

Semua telah dipersiapkan disana. Aku masuk kedalam lubang penguburan, membantu ibu menuju tempat persemayaman terakhirnya, membuka ikatan kain kafan nya, meletakan bola tanah sebagai penahan, hingga menutup tubuh ibu dengan potongan-potongan kayu agar tidak tertimpa oleh tanah. Tanah berhamburan dari atas ke bawah, lubang penguburan terisi sedikit demi sedikit, hingga tertutup sepenuhnya. Aku menangis sekuat yang kubisa, melepaskan semua air mata yang kubendung selama proses pemakaman, bunga-bunga ditaburkan, dan hari-hari tidak pernah sama lagi setelahnya.

Selamat tinggal Ibu.

Sepulang dari pemakaman, ada tanah-tanah dari makam ibu yang masuk kedalam saku kemeja dan celanaku, aku membiarkan nya tetap disana selama beberapa hari, bentuk pembangkanganku kepada kematian, ‘ku tak ingin membiarkan ibu pergi.

Waktu berlalu,dan aku pun perlu merelakan kematian Ibu, untuk selamanya. Sekali lagi aku membiarkan tuhan dan kematian menang.

Selepas ibu tiada, hari-hari tidak pernah sama lagi,

Tidak ada lagi masakan ibu,

Tidak ada lagi senyum ibu,

Ibu telah pergi dan takkan pernah kembali,

Meja makan tidak pernah lagi terisi,

Begitu juga dengan gelas teh ibu,

Tidak pernah ada ibu lagi di beranda rumah,

atau didapur,

— dimana ibu senang menghabiskan waktu untuk memasak,

atau diruang tengah,

— dimana ibu senang bersantai di sofa untuk menonton serial televisi kesukaan nya,

Rumah tidak lagi menjadi tempat peristirahatan,

Tidur tidak lagi memberikan ketenangan,

Ibu tidak lagi ada dimana-mana,

dan aku disini sendirian.

Benar apa kata Nadin, kita tak pernah sepenuhnya sembuh dari luka, seperti tulang yang patah dan tumbuh tidak sempurna.

Dimana ibu selalu berada.

--

--

Alif Muzadi
Alif Muzadi

Written by Alif Muzadi

Tumbuh di keluarga yang tidak sempurna mendorongnya melihat banyak hal dan berpetualang dalam perasaan-perasaan asing. Semoga tulisan ini dapat memberikan arti.

No responses yet